Monday 23 April 2007

PENGARANG BUKAN PENULIS

Apa perbedaan pengarang (author) dan penulis (writer)? Pertanyaan
sederhana yang tidak mudah dijawab, apalagi bila disusul beberapa
pertanyaan berikut: bagaimana membedakannya? Apa ukuran yang kita
gunakan? Kenapa dibedakan?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mengetahui persamaan
pengarang dan penulis. Kerja keduanya sama-sama berhubungan dengan
bahasa. Bahasa dalam pengertian paling luas dan mendasar: formula
yang membentuk kesadaran (bahkan ketidaksadaran, menurut
psikoanalisis) dan pandangan hidup manusia. Seandainya terdapat
seorang pengarang atau penulis mengaku mampu bekerja tanpa bahasa,
orang tersebut bisa dibilang sedang berdusta.

Ibu guru memberi pelajaran mengarang, murid-muridnya menulis cerita.
Pak guru memberi tugas menulis karya ilmiah, para siswa menulis
laporan penelitian. Mengarang sering diasosiasikan dengan karya
sastra yang fiksional, sedangkan menulis dengan ilmu yang sifatnya
faktual: seakan-akan mengarang sastra tidak memerlukan studi ilmiah,
dan menulis karya ilmiah tidak memerlukan bahasa imajinasi yang
fiksional.

Bukan bentuk, tetapi fungsi

Kita akan tahu asumsi tersebut keliru. Terbukti dengan adanya karya
ilmiah yang ditulis dengan bahasa literer atau kental unsur
sastranya. Filsuf, ekonom, dan ilmuwan politik Karl Marx menulis
karyanya dengan bahasa yang literer, penuh simbol dan metafora,
contohnya dalam Capital. Demikian pula Darwin yang terkenal dengan
bukunya, The Origin of Species.

Sebaliknya, terdapat banyak karya sastra yang penuh muatan ilmiah,
dan mengolah fakta-fakta dengan metodologi tertentu. Umberto Eco
misalnya, secara konsisten menggunakan logika abduksi sebagai metode
dalam novelnya, The Name of the Rose. Demikian pula Jorge Luis
Borges yang menggunakan labirin sebagai konsep (bahkan semacam
metode) untuk membahas matematika dan metafisika dalam prosa-
prosanya, khususnya Tlon, Uqbar, Orbis Tertius, dan Perpustakaan
Babel.

Artinya, asumsi tersebut keliru karena adanya kesalahan dalam
menentukan kategori. Seseorang disebut pengarang bukan karena sifat
karyanya literer-fiksional, dan disebut penulis bukan karena sifat
karyanya ilmiah dan faktual (barang siapa tetap menggunakan kategori
ini untuk membedakan pengarang dan penulis, jalan pikiran orang
tersebut pasti akan tersesat).

Yang membedakan keduanya bukan bentuk bahasa, melainkan fungsinya.
Fungsi bahasa bagi pengarang adalah untuk mencipta wacana, sementara
bagi penulis untuk menyampaikan pesan. Marx, Darwin, Eco, dan Borges
adalah pengarang, karena karya mereka melahirkan wacana. Sementara
banyak karya sastra dan ilmiah yang tidak melahirkan wacana, dengan
alasan yang berlainan; entah bahasanya kurang kuat, penalarannya
kurang akurat, atau sekadar mengulang karya sebelumnya.

Seorang pengarang niscaya menempatkan bahasa sebagai basis dari
gagasannya, melampaui fungsi instrumentalnya sebagai media
komunikasi. Gagasan seorang pengarang memberi bobot baru terhadap
bahasa, sehingga mampu mengubah struktur kesadaran, pandangan hidup,
dan landasan baru dalam memandang dunia. Adapun penulis menjadikan
bahasa semata sebagai instrumen untuk menyampaikan pesan agar para
pembacanya memahami makna yang disampaikan.

Pengaruh yang mendasar

Apa yang membuat sebuah karya sastra dan ilmiah menjadi wacana
sehingga penciptanya layak disebut pengarang? Pertanyaan itu juga
tidak mudah dijawab, karena banyaknya ukuran yang bisa digunakan,
dan jangan-jangan kita akan salah lagi (dan lagi) dalam menentukan
kategori. Tulisan ini kembali berusaha menjawabnya, dan jika jawaban
itu ternyata kelak bisa dibuktikan salah, maka itu berarti kita
telah menawarkan sepercik gagasan kepada pembaca, dan oleh sebab itu
bolehlah disebut sebagai "wacana".

Sebuah karya ilmiah bisa menjadi wacana karena di dalamnya terdapat
tiga hal. Pertama, ide kreatif yang didukung dasar filosofi yang
kuat. Marx bisa dikatakan adalah orang pertama yang mengemukakan
hukum ekonomi sebagai hukum yang menentukan perkembangan masyarakat
dan sejarah. Kebudayaan (seperti agama, negara, dan institusi sosial
lainnya), dicipta semata agar manusia dapat mengatur kebutuhan
ekonominya. Melalui budaya, agama, dan negara, manusia
mendistribusikan kebutuhan ekonominya, bukan sebaliknya.

Kedua, gagasannya memiliki pengaruh melampaui disiplinnya, bahkan
pandangan hidup secara keseluruhan. Sebelum Darwin, Lamarck telah
menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan asal-usul manusia,
tetapi Darwin-lah yang membuat teori evolusi berpengaruh melampaui
disiplin biologi, seperti pandangan yang ditawarkan kitab suci serta
dunia mitos. Lebih luas lagi gagasan Marx yang mengubah pandangan
manusia tak semata secara teoretis, tetapi juga praksis. Kita tahu,
di abad lalu komunisme menguasai sepertiga dunia.

Ketiga, pemikirannya dapat dibuktikan kebenarannya. Darwin
melahirkan teori evolusi dengan melakukan observasi terhadap
serangkaian fakta-fakta ilmiah, demikian pula Marx dengan teori
ekonominya. Gagasan mereka bukan spekulasi penalaran belaka,
melainkan didukung bukti-bukti empiris. Tanpa itu, gagasan mereka
akan rapuh, persis seperti mitos-mitos yang ditentangnya.

Sastra tak jauh beda

Bila karya ilmuwan menjadi wacana melalui tiga hal di atas, karya
sastra tidak jauh beda. Membaca novel Eco, The Name of The Rose,
kita akan mendapati ide yang didukung basis filosofis yang kuat,
salah satunya bobot relevatif (kewahyuan) filsafat Aristoteles.
Sebelum Eco mungkin sudah ada yang mengatakannya, tetapi Eco
melakukannya secara lebih konstruktif dengan cara menghubungkan ide
tersebut dengan berbagai ide yang menentang dan yang mendukungnya,
termasuk filsafat Abad Pertengahan yang terkungkung teologi
apokalipsis. Demikian pula Borges, yang secara konstruktif memberi
bobot filosofis terhadap labirin, dan melalui itu ia mencipta model
berpikir tertentu.

Karya Eco dan Borges juga berpengaruh hingga di luar disiplinnya.
Novel Eco tak hanya mengubah pandangan manusia terhadap novel,
tetapi juga terhadap agama dan filsafat Abad Pertengahan. Demikian
pula Borges, karyanya berpengaruh secara generik terhadap filsafat
dan ilmu pengetahuan. Eco sendiri, bahkan Michael Foucault, adalah
filsuf dan ilmuwan yang menimba ilham dari prosa-prosa Borges.

Lalu apa gagasan dalam karya sastra dapat dibuktikan secara ilmiah?
Tak terhitung karya sastra yang penuh muatan ilmiah, karena
sastrawan lazim menggunakan disiplin tertentu dalam menciptakan
karyanya. Namun, bukan di situ posisi unik sastra dalam hubungannya
dengan ilmu. Bila Marx dan Darwin mengajukan pertanyaan filosofis
dan menyelesaikannya secara ilmiah, sastra membaca kesimpulan ilmiah
melalui serangkaian pertanyaan imajinatif sehingga dari sana terbuka
wilayah baru bagi spekulasi para filsuf dan ilmuwan, persis seperti
pengaruh Borges dan Eco terhadap khazanah humaniora kontemporer.

Kita juga memiliki karya-karya ilmiah dan sastrawi yang sebetulnya
memiliki karakteristik seperti karya-karya mereka yang "pengarang"
dan bukan sekadar "penulis". Pemikiran Tan Malaka, sajak-sajak
Chairil Anwar, dan prosa-prosa Iwan Simatupang di antaranya.

Lalu kenapa karya mereka tidak punya pengaruh mendasar di luar
disiplinnya? Jawabannya, karena mereka adalah orang- orang cemerlang
yang hidup di tengah bangsa dengan tradisi pengetahuan yang buruk
(kita berharap jawaban ini salah). Bangsa yang belum memiliki
tradisi pengetahuan yang kuat membutuhkan banyak "pengarang", bukan
sekadar "penulis".

Otoritas Wacana

Salah satu bukti karya ilmiah, filsafat, dan sastra yang melahirkan
wacana adalah ketika ia menjadi tonggak dalam disiplinnya. Misalnya
dalam membahas kapitalisme (baik ekonomi, politik, maupun budayanya)
kita tidak bisa lepas dari landasan yang diberikan Marx. Begitu pula
mengenai asal-usul manusia sulit lepas dari Darwin. Novel Eco tidak
bisa dilewati ketika kita membahas dunia Abad Pertengahan, juga
Borges dalam kaitannya dengan sastra filsafi dan fantasi.

Katakanlah, karya mereka memiliki otoritas terhadap wacana. Chairil
Anwar memiliki otoritas terhadap puisi Indonesia modern. Sulit
bicara puisi Indonesia modern tanpa Chairil Anwar. Demikian pula Tan
Malaka dan Iwan Simatupang dalam filsafat dan prosa di negeri ini.
Nama-nama mereka—termasuk tentu saja Marx, Darwin, Eco, dan Borges—
sering disebut bukan sekadar nama melainkan semacam "istilah" yang
merujuk pada gagasan tertentu yang pengaruhnya luas. Itu membuktikan
mereka adalah pengarang (author), mempunyai "otoritas" terhadap
wacana, dan bukan sekadar penulis (writer) yang menyampaikan
sebuah "pesan".

Apa yang kita inginkan, pengarang atau penulis? Kita tak bisa
menjawabnya kecuali dengan berdusta. Karena, secara etos mereka yang
penulis lebih elegan bila bekerja layaknya pengarang, sedangkan
secara etis mereka yang pengarang lebih elegan bila tetap memandang
dirinya sekadar penulis. Sejauh ditempatkan pada konteks etis dan
etos itulah polemik seputar "kematian pengarang" (the death of
author) yang diusung Roland Barthes dan ramai didiskusikan beberapa
tahun silam di sini relevan untuk direnung.

No comments: